Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat
Kota Tanjungpinang – Kepulauan Riau – Indonesia
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat
|
A. Selayang Pandang
Masjid Raya Sultan Riau adalah salah satu obyek wisata sejarah termasyhur yang
berada di Pulau Penyengat, Propinsi Kepulauan Riau. Masjid ini mulai
dibangun ketika pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri
Raja Hamidah, istri penguasa Riau waktu itu, Sultan Mahmudsyah
(1761—1812 M).
Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai
batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi kurang
lebih 6 meter. Namun,
seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah
jamaah yang terus bertambah, sehingga Yang Dipertuan Muda Raja
Abdurrahman —Sultan Kerajaan Riau pada 1831—1844 M— berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.
Untuk
membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman menyeru kepada
seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 H (1832 M),
atau bertepatan dengan hari raya Idulfitri.
Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk
berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut. Orang-orang dari
seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga
berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan,
makanan dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada sang
Pencipta dan sang sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam
pembangunan masjid tersebut, sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, pondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.
Konon, karena banyaknya
bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan
telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur, sehingga yang
dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih
telur yang terbuang, sang arsitek yang berkebangsaan India dari Tumasik
(sekarang Singapura) punya ide untuk memanfaatkannya sebagai bahan
bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan
perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan
masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.
Masjid
dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini adalah bangunan istimewa
yang wajib dilindungi, karena merupakan satu-satunya peninggalan
Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Luas keseluruhan kompleks masjid
ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5
meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid,
terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan
tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga
terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk
berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.
B. Keistimewaan
Dari
Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang,
bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat
mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau kecil seluas 240
hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing
setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India. Susunan kubahnya
bervariasi, mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika
kubah dan menara tersebut dijumlah, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini
dapat diartikan sebagai jumlah rekaat dalam shalat yang harus dilakukan
oleh setiap umat Islam dalam sehari.
Dilihat
dari bentuk arsitekturnya, Masjid Sultan Riau di Penyengat ini sangat
unik. Tidak diketahui secara persis gaya arsitektur mana yang diadopsi
oleh masjid ini. Ada yang mengatakan, masjid ini bergaya India, karena
tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India
yang didatangkan dari Tumasik (Singapura). Namun, dilihat dari bentuk
bangunan utama dan bagian-bagian yang mendukungnya, arsitektur masjid
ini merupakan perpaduan dari berbagai gaya, yaitu Arab, India, dan Melayu.
Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta tahun
1991 dan 1995, Masjid Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama
di Indonesia yang memakai kubah di atapnya.
Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat
dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama,
pengunjung dapat menjumpai mushaf Alquran tulisan tangan yang
diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis
oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M. Ia adalah salah seorang
putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di
Istambul, Turki. Mushaf bergaya Istambul ini ditulis oleh penulisnya di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat.
Sebenarnya,
masih ada satu lagi mushaf Alquran tulisan tangan yang terdapat di
masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua
dibanding mushaf yang satunya, karena dibuat pada tahun 1752 M. Di
bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat
tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Hal ini mengindikasikan bahwa
orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba
menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan
kepada wisatawan
lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar
300-an kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan
masjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat
diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, saat terjadi
eksodus besar-besaran masyarakat Riau ke Singapura dan Johor pada awal
abad ke-20 karena kecamuk perang melawan penjajah Belanda.
Benda
lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat
dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota
kecil di pesisir pantai utara yang terkenal dengan kerajinan ukirnya
sejak lama. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu
adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang
satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah
Daik. Di dekat mimbar Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir
yang konon berasal dari tanah Mekkah al-Mukarramah, melengkapi
benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki
dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua,
bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun
1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.
Selain
itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga
dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu,
rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat
mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sedangkan
rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri
halaman depan masjid. Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah
panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu
waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan rumah sotoh—bangunan
dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting
ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari
ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh
Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin
pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.
C. Lokasi
Masjid Raya Sultan Riau terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia.
D. Harga Tiket
Pengunjung
tidak dipungut biaya. Namun, bagi pengunjung yang ingin beramal, di
pintu utama masjid terdapat kotak amal, atau dapat diberikan langsung
kepada pengurus masjid.
E. Akses
Untuk
mencapai Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pengunjung harus
menaiki perahu motor yang dermaganya berada di Pelabuhan Sri Bintan
Pura, Kota Tanjung Pinang. Perahu motor berkapasitas 13 orang yang
bentuknya seperti bangunan rumah adat Melayu itu akan membawa pengunjung
melintasi laut selama kurang lebih 15 menit, dengan ongkos perjalanan
Rp 5.000
(Juli 2008). Namun, ongkos perahu motor tersebut menjadi berlipat-lipat
bagi rute sebaliknya, yaitu dari Pulau Penyengat menuju Pelabuhan Sri
Bintan Pura. Jika malam belum tiba, ongkos balik tersebut berada pada
kisaran antara Rp 10.000—15.000. Namun, jika malam sudah menjelang,
ongkosnya bisa naik mencapai 100 persen, yaitu sekitar Rp 30.000 sekali
jalan.
F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya
Masjid
Raya Sultan Riau dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti tempat
wudu yang cukup luas, ruang informasi, rumah sotoh tempat para
pengunjung melepas lelah, dan dua balai yang dapat digunakan sebagai
tempat pertemuan. Setahun sekali, biasanya pada bulan Ramadhan, pengurus
masjid mengadakan kegiatan bimbingan penulisan kreatif dan latihan
membacakan syair termasyhur Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas. Bagi pengunjung yang tertarik mengikuti kegiatan tersebut, dapat mengunjungi masjid ini ketika bulan Ramadhan tiba.
Di
Pulau Penyengat, pelancong juga dapat menjumpai cukup banyak rumah
makan yang menjajakan masakan khas Melayu dan rumah penginapan yang
dikelola penduduk setempat. Namun, bagi pelancong yang menghendaki
fasilitas dan sarana akomodasi yang lebih lengkap, tempat terdekat
adalah Kota Tanjung Pinang. Di kota kecil ini, pengunjung dapat
menjumpai hotel dan restoran yang lebih representatif. Selain itu, di
kota ini juga terdapat pusat perbelanjaan, mal, pusat kebugaran dan
salon kecantikan, pompa besin, dan lain-lain.
http://wisatasumatera.wordpress.com/wisata-kepulauan-riau/masjid-sultan-riau/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar