Senin, 13 Mei 2013

Masjid Sultan Riau

Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat
Kota Tanjungpinang – Kepulauan Riau – Indonesia
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat

A. Selayang Pandang

Masjid Raya Sultan Riau adalah salah satu obyek wisata sejarah termasyhur yang berada di Pulau Penyengat, Propinsi Kepulauan Riau. Masjid ini mulai dibangun ketika pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, istri penguasa Riau waktu itu, Sultan Mahmudsyah (1761—1812 M). Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi kurang lebih 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah jamaah yang terus bertambah, sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman Sultan Kerajaan Riau pada 1831—1844 M berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.
Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman menyeru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 H (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idulfitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut. Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada sang Pencipta dan sang sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut, sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, pondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.
Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur, sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek yang berkebangsaan India dari Tumasik (sekarang Singapura) punya ide untuk memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.  
Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini adalah bangunan istimewa yang wajib dilindungi, karena merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

B. Keistimewaan

Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India. Susunan kubahnya bervariasi, mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlah, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rekaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari.  
Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Masjid Sultan Riau di Penyengat ini sangat unik. Tidak diketahui secara persis gaya arsitektur mana yang diadopsi oleh masjid ini. Ada yang mengatakan, masjid ini bergaya India, karena tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Tumasik (Singapura). Namun, dilihat dari bentuk bangunan utama dan bagian-bagian yang mendukungnya, arsitektur masjid ini merupakan perpaduan dari berbagai gaya, yaitu Arab, India, dan Melayu. Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1991 dan 1995, Masjid Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah di atapnya.  
Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Mushaf bergaya Istambul ini ditulis oleh penulisnya di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat.
Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Alquran tulisan tangan yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya, karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada wisatawan lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300-an kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, saat terjadi eksodus besar-besaran masyarakat Riau ke Singapura dan Johor pada awal abad ke-20 karena kecamuk perang melawan penjajah Belanda.  
Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik. Di dekat mimbar Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Mekkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.
Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sedangkan rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid. Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan rumah sotoh—bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini

C. Lokasi

Masjid Raya Sultan Riau terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

D. Harga Tiket

Pengunjung tidak dipungut biaya. Namun, bagi pengunjung yang ingin beramal, di pintu utama masjid terdapat kotak amal, atau dapat diberikan langsung kepada pengurus masjid.

E. Akses

Untuk mencapai Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pengunjung harus menaiki perahu motor yang dermaganya berada di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang. Perahu motor berkapasitas 13 orang yang bentuknya seperti bangunan rumah adat Melayu itu akan membawa pengunjung melintasi laut selama kurang lebih 15 menit, dengan ongkos perjalanan Rp 5.000 (Juli 2008). Namun, ongkos perahu motor tersebut menjadi berlipat-lipat bagi rute sebaliknya, yaitu dari Pulau Penyengat menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura. Jika malam belum tiba, ongkos balik tersebut berada pada kisaran antara Rp 10.000—15.000. Namun, jika malam sudah menjelang, ongkosnya bisa naik mencapai 100 persen, yaitu sekitar Rp 30.000 sekali jalan.   

F. Fasilitas dan Akomodasi Lainnya

Masjid Raya Sultan Riau dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti tempat wudu yang cukup luas, ruang informasi, rumah sotoh tempat para pengunjung melepas lelah, dan dua balai yang dapat digunakan sebagai tempat pertemuan. Setahun sekali, biasanya pada bulan Ramadhan, pengurus masjid mengadakan kegiatan bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair termasyhur Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas. Bagi pengunjung yang tertarik mengikuti kegiatan tersebut, dapat mengunjungi masjid ini ketika bulan Ramadhan tiba.
Di Pulau Penyengat, pelancong juga dapat menjumpai cukup banyak rumah makan yang menjajakan masakan khas Melayu dan rumah penginapan yang dikelola penduduk setempat. Namun, bagi pelancong yang menghendaki fasilitas dan sarana akomodasi yang lebih lengkap, tempat terdekat adalah Kota Tanjung Pinang. Di kota kecil ini, pengunjung dapat menjumpai hotel dan restoran yang lebih representatif. Selain itu, di kota ini juga terdapat pusat perbelanjaan, mal, pusat kebugaran dan salon kecantikan, pompa besin, dan lain-lain.

http://wisatasumatera.wordpress.com/wisata-kepulauan-riau/masjid-sultan-riau/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar